Kutip.id, TENGGARONG – Senja perlahan turun di langit Tenggarong, menyelimuti kota dengan cahaya keemasan. Di salah satu sudut kota, tepatnya di Rumah Makan Bebakaran, suasana terasa berbeda. Di sana, puluhan anak Panti Ar-Rayyan duduk rapi, menanti waktu berbuka puasa dengan penuh antusias. Bagi sebagian orang, buka bersama mungkin sekadar rutinitas, tapi bagi mereka, ini adalah momen langka yang membawa kebahagiaan tersendiri.
Anak-anak itu, berjumlah 21 orang, datang dengan wajah-wajah polos yang menyimpan cerita kehidupan yang tak mudah. Ada yang kehilangan orang tua sejak kecil, ada pula yang dititipkan karena keluarga mereka tak lagi mampu menghidupi. Namun, di balik kesedihan itu, mereka tetap tersenyum, menyembunyikan rindu yang barangkali tak akan terbalas.
Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mengundang mereka untuk berbuka bersama. Tidak ada kemewahan, hanya makanan sederhana yang mungkin bagi sebagian orang tampak biasa, tetapi bagi anak-anak panti, ini adalah rezeki yang sangat disyukuri.
Saat hidangan mulai disajikan—ikan sungai, ayam bakar, ayam goreng—mata anak-anak itu berbinar. Mungkin bagi sebagian besar orang, makanan ini bukan sesuatu yang istimewa. Namun bagi mereka, ini adalah kemewahan yang jarang mereka nikmati. Dengan lahap, mereka menyantap hidangan, seolah lupa sejenak pada kenyataan hidup yang keras.
Ketua SMSI Kukar, Angga Triandi, menyadari betapa berharganya momen ini. Baginya, ini bukan sekadar acara tahunan, tetapi sebuah bentuk kepedulian. Ia menyampaikan bahwa buka bersama ini juga menjadi bagian dari peringatan HUT ke-8 SMSI yang jatuh pada 7 Maret lalu.
“Alhamdulillah, di hari ke-15 Ramadan ini kita bisa berbagi kebahagiaan dengan adik-adik Panti Ar-Rayyan. Semoga ini bukan sekadar acara seremonial, tapi benar-benar membawa keberkahan bagi kita semua,” ucapnya dengan mata sedikit berkaca-kaca.
Di penghujung acara, doa bersama dipanjatkan. Anak-anak itu menengadahkan tangan, berdoa dengan penuh harap. Mungkin mereka meminta kesehatan, kebahagiaan, atau sekadar rezeki yang cukup untuk terus bertahan hidup. Setelah itu, bingkisan sederhana diberikan kepada mereka.
Salah satu anak, yang masih berusia sekitar 7 tahun, memeluk bingkisannya erat. “Terima kasih, Kak,” ucapnya lirih. Ada haru yang menggantung di udara.
Saat malam semakin larut, anak-anak itu bersiap kembali ke panti. Senyum mereka masih mengembang, meskipun di balik itu, ada kisah yang mungkin tak semua orang tahu. Mereka kembali ke tempat di mana mereka menghabiskan hari-hari, tanpa keluarga yang menemani. Namun setidaknya malam ini, mereka merasakan kehangatan yang berbeda—sebuah kasih sayang yang, walau sesaat, menghapus sejenak rasa sepi di hati mereka.
Angga menatap mereka pergi dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, kepedulian tak bisa berhenti di sini. “Semoga ini menjadi awal dari silaturahmi yang panjang. Kita ingin mereka tahu, mereka tidak sendiri,” ujarnya pelan.
Ramadan masih panjang, begitu pula perjalanan hidup anak-anak itu. Namun setidaknya, malam ini mereka pulang dengan hati yang lebih ringan. (*)