Jakarta – Istilah ‘susu ikan’ menjadi sebuah perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan pemerintahan usai wacana penggunaan produk ini dalam program makan siang gratis kabinet Prabowo-Gibran mencuat.
Muncul sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada susu sapi impor, oleh karenanya gagasan ini mengundang perhatian luas, tetapi juga memicu sejumlah perdebatan di kalangan ahli dan akademisi.
CEO PT Berikan Teknologi Indonesia, Yogie Arry, misalnya, selaku produsen minuman yang disebut sebagai ‘susu ikan,’ menjelaskan bahwa produk mereka sebenarnya merupakan minuman berprotein tinggi yang berasal dari asam amino ikan.
“Kami sebenarnya memproduksi minuman berprotein tinggi, bukan susu seperti yang dikenal banyak orang. Tapi, karena warnanya putih dan teksturnya mirip dengan susu, masyarakat kemudian menyebutnya susu ikan,” ujarnya.
Sementara, Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) turut mengusulkan susu ikan sebagai alternatif dalam program makan siang gratis. Menurut dia, penggunaan susu ikan uni dapat membantu mengurangi ketergantungan pada susu sapi impor, yang saat ini mencapai 75 persen dari total kebutuhan nasional.
“Susu ikan dapat menjadi solusi tepat untuk memanfaatkan sumber protein lokal dan mendukung sektor perikanan nasional. Ini adalah langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor,” terangnya.
Namun, gagasan ini tentunya tidak lepas dari kontroversi. Para ahli gizi pun mengingatkan bahwa meskipun susu ikan kaya akan protein, kandungan gizinya berbeda dengan susu sapi.
Dokter gizi klinis, Rina Wardhani, menegaskan bahwa susu sapi mengandung berbagai nutrisi penting, seperti kalsium dan vitamin D, yang mungkin tidak terdapat dalam susu ikan.
“Susu sapi memiliki komposisi nutrisi yang spesifik, seperti kalsium, yang sangat penting untuk pertumbuhan anak. Susu ikan mungkin bagus sebagai sumber protein, tetapi tidak bisa langsung menggantikan semua manfaat susu sapi,” jelasnya.
Kepala Badan Gizi Nasional, Anita Kartika, turut mengungkapkan bahwa kajian lebih lanjut diperlukan sebelum susu ikan dapat digunakan secara luas dalam program gizi nasional.
“Penggunaan susu ikan masih dalam tahap pembahasan. Kami perlu memastikan bahwa produk ini sesuai dengan standar gizi yang dibutuhkan masyarakat, khususnya untuk program makan siang gratis ini,” ungkap Anita.
Kemudian dari kalangan akademisi, muncul kritik terkait penggunaan istilah “susu” untuk produk berbahan dasar ikan ini. Salah satunya, Dosen Fakultas Peternakan IPB University, Epi Taufik.
Ia menjelaskan bahwa susu, menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), harus berasal dari hewan mamalia.
“Susu ikan tidak termasuk dalam kategori susu berdasarkan SNI karena susu secara definisi adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu mamalia, seperti sapi, kambing, dan domba. Produk yang terbuat dari ikan seharusnya tidak disebut sebagai susu,” papar dia.
Kendati demikian, Yogie tetap optimistis dengan potensi produk ini sebagai sumber protein alternatif bagi masyarakat.
“Kami ingin meningkatkan kesadaran tentang pentingnya konsumsi protein. Asam amino dari ikan adalah sumber protein yang mudah diakses dan bisa menjadi alternatif untuk mereka yang sulit mendapatkan protein dari susu sapi,” tutur Yogie.
Program makan siang gratis kabinet Prabowo-Gibran, yang diusung sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan gizi anak-anak di seluruh Indonesia, memang membuka peluang besar bagi inovasi produk-produk lokal seperti susu ikan.
Tetapi, tantangan utama tetap terletak pada bagaimana produk ini dapat memenuhi kebutuhan gizi yang setara dengan susu sapi.
Di satu sisi, pemerintah melihat susu ikan sebagai solusi jangka panjang untuk kemandirian pangan dan pengurangan impor. Di sisi lain, para ahli menekankan pentingnya kajian ilmiah lebih lanjut sebelum produk ini diadopsi secara luas dalam program makan siang sekolah.
Evaluasi mendalam tentang kandungan gizi, distribusi, serta penerimaan masyarakat terhadap susu ikan perlu dilakukan sebelum wacana ini bisa diwujudkan.