Kutip.id, SAMARINDA – Di tanah Kalimantan Timur, Sungai Mahakam mengalir gagah sepanjang 980 kilometer, menjadi saksi bisu peradaban yang tumbuh di sekitarnya. Sebagai sungai terpanjang kedua di Indonesia, Mahakam tidak hanya menjadi jalur air tetapi juga penghubung sejarah, budaya, dan kehidupan masyarakat.
Sejarah Mahakam menyimpan banyak cerita menarik. Salah satunya menyebut bahwa nama ini berasal dari “Muara Kaman,” sebuah kawasan bersejarah yang pernah menjadi pusat Kerajaan Kutai Martadipura, kerajaan tertua di Indonesia. Versi lain mengaitkan nama ini dengan bahasa Sanskerta, di mana “maha” berarti besar dan “kama” berarti cinta, mengisyaratkan hubungan emosional yang mendalam antara masyarakat dan sungai ini.
Sungai Mahakam adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Alirannya menyediakan air untuk berbagai kebutuhan dasar, menjadi jalur transportasi utama, dan mendukung mata pencaharian masyarakat melalui hasil perikanan yang melimpah. Hingga kini, Mahakam tetap menjadi tulang punggung kehidupan di Kalimantan Timur.
Keanekaragaman hayati Mahakam juga menjadi daya tarik tersendiri. Pesut Mahakam, mamalia air tawar yang menjadi kebanggaan sungai ini, kini menghadapi ancaman kepunahan. Selain itu, burung enggang, lutung, dan berbagai satwa lain turut memperkaya ekosistem Mahakam, menciptakan harmoni antara manusia dan alam.
Pariwisata di sepanjang Mahakam menyimpan pesona yang sulit dilupakan. Susur sungai menjadi aktivitas yang wajib dicoba, memberikan pengalaman untuk menikmati pemandangan alam, sambil menyaksikan aktivitas masyarakat yang masih kental dengan tradisi. Tarifnya yang ramah di kantong membuat wisata ini bisa dinikmati oleh siapa saja.
Festival Sei Mahakam menjadi momen penting yang dirayakan setiap tahun. Festival ini menghadirkan kekayaan seni dan budaya lokal, dari tarian tradisional hingga sajian kuliner khas. Selain menjadi ajang perayaan, acara ini juga menjadi media untuk memperkuat identitas masyarakat Kalimantan Timur.
Mahakam adalah penghubung masa lalu dan masa kini, mengalirkan kehidupan sekaligus membawa cerita dan harapan. Ia adalah saksi perjalanan peradaban yang tak pernah berhenti, menyatu dalam keseharian masyarakat yang hidup di tepinya. (*)
Penulis : Rachaddian (dion)